Buku2 Google

Kamis, 03 Januari 2008

Banjir seharusnya tidak datang









Foto satelit yang menunjukkan kawasan tangkapan air untuk sungai-sungai di wilayah Jabodetabek, meliputi lereng utara Gunung Salak, Gede dan Pangrango, serta wilayah Cisarua dan Puncak, Kabupaten Bogor (sumber:www.Maplandia.com)

Banjir sekarang bukan lagi setiap lima tahun sekali tetapi sudah setiap tahun. Jakarta atau batavia sejak jaman belanda konon sering dibanjir oleh sungai ciliwung ini sehingga pemerintah belanda pada waktu itu merencanakan membangun banjir kanal barat dan banjir kanal timur, hanya banjir kanal barat yang rampung sedangka banjir kanal timur belum selesai dibangun. Jakarta dilalui dan menjadi tempat bermuaranya 13 sungai yang berhulu di Kabupaten Bogor yang berada di sebelah selatan. Ketiga belas sungai itu yaitu Ciliwung, Pesanggrahan, Sunter, Krukut, Jati Kramat, Cipinang, Grogol, Angke, Buaran, Kali Baru, Kali Baru Timur dan Cakung. Sungai yang terbesar adalah Ciliwung yang berhulu di lereng Gunung Pangrango (3019 m) dan Talaga (1725 m) di sekitar wilayah Kecamatan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Di daerah hulu yang menjadi wilayah utama tangkapan air bagi Ciliwung relatif sempit, jika dibandingkan dengan wilayah tangkapan air Sungai Cisadane misalnya, yaitu hanya sekitar 100 km persegi (10.000 ha). Atau kurang lebih setara dengan luas Kota Bogor. Wilayah tangkapan air di Cisarua dan Megamendung ini sekarang sudah beralih fungsi dari hutan dan atau perkebunan bertanaman menahun menjadi wilayah pemukiman, fasilitas pariwisata dan komersial, serta untuk lahan pertanian bertanaman semusim.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kawasan puncak seperti megamendung, cisarua, ciawi dan sekitarnya telah berubah warnanya menjadi kecoklatan, ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan fungsi lahan menjadi sektor perumahan, niaga dan perkantoran serta pariwisata. Daerah tangkapan air Kali Ciliwung yang sempit di lereng Gunung Pangrango dan Talaga, yang seharusnya dijaga kelestariannya telah porak poranda menjadi lahan non-kehutanan dan non-perkebunan. Kawasan Cisarua sudah tidak seindah dulu lagi. Sejauh mata memandang kawasan itu dihiasi pemukiman, villa-villa, lahan pertanian sayuran di lahan berkontur miring berpadu dengan lahan tidur yang terlantar. sedangkan pada bagian tengah aliran sungai Ciliwung pun sudah sarat oleh pemukiman penduduk dan kawasan industri, mulai dari Kota Bogor, Cibinong dan Kota Depok. Daerah resapan air sudah semakin sempit. Apalagi memasuki wilayah DKI Jakarta, daerah aliran sungai Ciliwung sudah penuh sesak, padat oleh pemukiman penduduk, industri, fasilitas komersial dan berbagai peruntukan lain, yang tak menyisakan lahan sedikit pun sebagai tempat peresapan air. Belum lagi sampah dan pendangkalan sungai yang semakin menurunkan kemampuan fungsi seperti layaknya sebuah sungai.

Fenomena ini juga terjadi pada sungai-sungai lain yang mengalir di kawasan Jabodetabek. Jika ingin Jakarta tidak banjir, segera batasi dengan ketat kawasan yang diperuntukkan bagi fungsi selain untuk kehutanan dan perkebunan menahun. Kembalikan lahan pada fungsi semula, walaupun di atasnya telah dibangun bangunan yang tidak sesuai ketentuan. Hijaukan lahan kritis dan lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya yang biasanya spekulan tanah dan properti yang menunggu “harga bagus”, bahkan bila perlu diambil alih pemerintah jika dalam jangka waktu tertentu tidak digunakan sesuai peruntukkannya.

Atur yang ketat mengenai penataan ruang tanpa pandang bulu, terutama daerah terbuka hijau, Segera atur drainase, reboisasi sempadan sungai, reboisasi lahan tidur, kritis, dan lain sebagainya... dan yang terpenting harus ada waskat terhadap aparatur daerah, dan aparatur kota-kota disekitar jakarta dalam hal izin pembangunan...!

Pada skala mikro, buat sumur-sumur peresapan sebanyak mungkin. Dapat dengan ketentuan, misalnya setiap 25 meter persegi lahan harus dibuat satu sumur peresapan, baik di pemukiman, fasilitas umum, komersial, industri dan fasilitas lainnya. Hindari bahkan larang plesterisasi untuk perkerasan tanah, untuk memberi kesempatan air meresap secara alami seluas mungkin. Sebagai jalan tengah, perkerasan dapat dilakukan dengan grassblock, atau plesterisasi manual pra-cetak in-situ (plesterisasi yang dapat dibuat sendiri dengan mencetak blok-blok kecil, misalnya berukuran 20x20 cm dari pasir, kerikil dan semen) yang dibentuk dengan tetap memberi celah – celah bagi tanah. Kemudian tidak menggunakan lapisan aspal pada jalan-jalan intern di pemukiman, perkantoran, dan industri. Pada kawasan ini dapat dibuat dengan lapisan pasir dan conblock dan grassblock.








1 komentar:

Mbah Suro mengatakan...

Baru-baru ini la wong nggak hujan saja jalan tol ke bandara terendam air sampai lebih satu meter. Perencanaannya bagus, aturanya sudah sesuai, hanya pengawasan dilapangan memble Mas.... Jare semua bisa diatur. Salam kenal Mas, saya asli Purworejo