Buku2 Google

Kamis, 24 Januari 2008

Pedagang Jalan Barito Tergusur...

ADOLF Heuken dan Grace Pamungkas (2001) menulis, kawasan Menteng di Jakarta Pusat merupakan kota taman pertama di Indonesia, tentunya yang dirancang para arsitek Belanda. Namun, banyak warga Jakarta yang belum tahu bahwa Kebayoran Baru di Jakarta Selatan adalah kota taman pertama di Indonesia yang dirancang arsitek lokal, Moh. Soesilo (1948).

Kebayoran Baru merupakan adaptasi kota taman bergaya Eropa (Belanda) dalam iklim tropis sehingga sering disebut sebagai kota taman tropis yang banyak dikembangkan oleh Thomas Karsten di beberapa kota di Jawa (Bogor, Bandung, Malang) dan luar Jawa, di mana arsitek Moh. Soesilo adalah salah satu muridnya.

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor D.IV-6099/33/ 1975, kawasan Kebayoran Baru ditetapkan sebagai Kawasan Pemugaran. Bahkan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 telah menetapkan sebagian besar kawasan Kebayoran Baru sebagai Kawasan Perumahan/Hunian. Maka, Kebayoran Baru seharusnya dilindungi dan dilestarikan sebagai contoh warisan budaya kota taman pertama di Indonesia. Bukan malah digadaikan.

Sumber: Harian Kompas, Jumat, 06 Agustus 2004 didalam Indi Arsitektur.

Jalan Barito sebagai bagian dari segmen sejarah arsitektur tersebut, baru-baru telah dialih fungsikan menjadi taman kota.... padahal, pada waktu itu jalan barito merupakan bagian dari perncanaan dan perancangan dari pusat-pusat perniagaan permukiman sekitarnya, seperti pasar Blok A, Blok M, Mayestik, dll.

Sunggu miris melihat tergusurnya pedagang dan kios-kios flora dan fauna sebagai objek dan tempat perniagaan dan tempat lahan untuk penghidupan mereka ..... menurut berita yang resmi rencana mereka akan ditempatkan di sekitar jl. radio dalam (Pasar Inpres, dekat kampus STI&K) yang juga sedang dalam tahap proses pengerjaan akhir/finishing.

Lihat saja kondisi pasar inpres tersebut, banyak sekali permukiman padat, pasar yang sangat tradisional sehingga terkesan menambah kumuh kawasan permukiman ini... tidak menutup kemungkinan pelanggan pedagang kios yang ada di jalan barito enggan ke tempat ini....

Saya sebagai warga kebayoran baru, di kawasan permukiman padat, dan sering melintasi jalan barito sungguh tercengang, bagaimana mungkin bila sebuah napas perjalanan sejarah dan kehidupan bermukim dalam kawasan, dalam waktu singkat dirubah peruntukannya.... saya sangat setuju dengan kawasan ini sebagai taman kota/kawasan, tetapi apa yang terjadi kemudian...? kawasan ini akan sangat sepi, bagaikan kuburan, tanpa adanya gerak roda ekonomi kehidupan, bahkan tidak menutup kemungkinan area ini bisa dijadikan tempat kejahatan, mudah-mudahan saja tidak....!

Itu baru pandangan satu, pandangan kedua... tidak menutup kemungkinan adanya pedagang-pedagang baru yang memanfaatkan kios lahan (taman) kosong ini dijadikan tempat berjualan...

Fungsi taman kota secara umum adalah sebagai ruang terbuka hijau (RTH), sebagai paru-paru kota, filterisasi udara kotor/pencemaran.

Coba tengok saja... taman-taman kota yang dibuat pemerintah kota hanya segelintir orang saja dan bisa dihitung berapa banyak orang yang menjadikan taman sebagai area berinteraksi sosial.

sebagai kawasan yang dinamis, Jalan Barito merupakan bagian dari segmen permukiman dan area bisnisnya merupakan bagian tak terpisahkan...

Iihatlah bagaimana kasus-kasus pedagang kaki lima yang ada di perkotaan ditertibkan, apalagi ini adalah kios resmi dengan adanya Perda Pemkot DKI, bahwa banyak pedagang kaki lima (pedagang rakyat/ekonomi rendahan) di kota-kota besar di indonesia ini memiliki kecencerungan tinggi mendekati konsumen. Ini yang seharusnya menjadi pelajaran dan pengalaman dari pengambil kebijakan kota bahwa untuk merancang sebuah kota kecil/kawasan dengan perniagaannya haruslah mengikutsertakan wong cilik (pedagang kaki lima) menyediakan fasilitasnya (kios) tanpa merusak keindahan kota, bahkan pemerintah kota dapat meningkatkan kulitas view dengan rancangan ornamen yang klasik, trendi, dll tanpa memarginalkan rakya kecil.

Dari sejarah perancangannya kebayoran baru sudah merencanakan pusat-pusat perniagaannya, termasuk jalan barito, sebenarnya konsep Jl. Malioboro di yogyakarta dapat dijadikan contoh, atau konsep revitalisasi kota tua di daerah Kota dapat diterapkan ... tentu saja dengan menempatkan pedagang-pedagang kaki lima.

Banyak sekali desainer perancang kota (urban design) kita yang pintar mengadobsikan Green Architecture, preservasi, revitalisasi, rehabilitasi terhadap taman-taman kota dengan mengikutsertakan pedagang kaki lima sebagai bagian dari konsep tersebut.

Mudah-mudahan tulisan ini menjadi masukan yang berharga buat pemerintah kota.... Amin.

Minggu, 13 Januari 2008

OTONOMI DAERAH DALAM PERJALANAN

Otonomi daerah yang lebih dikenal dengan desentralisasi telah berjalan hampir 10 (sepuluh tahun) sejak dicetuskan oleh beberapa kepemimpinan reoformasi. Reformasi kebijakan ekonomi dan politik. Dalam hal kebijakan politik dalam konteks, pemerintahan yang berpihak kepada pemerintahan daerah (desentralisasi pemerintahan), saat ini telah mengalami kemunduran dan kemajuan. Mengalami kemunduran karena berbagai hal: pertama, otonomi saat ini dipakai oleh elite-elite politik daerah untuk memekarkan diri, banyak alasan daerah untuk melepaskan diri dalam konteks pemekaran wilayah, ya itu tadi, disatu sisi karena merasa tidak puas (baik dari pusat maupun dari pemerintahan lokal), kedua banyak aparatur birokrat menjadikan pemekaran wilayah menjadi ajang dan kesempatan mendapatkan jabatan (lintas sektoral dan non sektoral), ketiga ujung-ujung dari dramatisir itu adalah untuk mendapatkan pengelolaan anggaran, dan yang terakhir karena merasa mampu dan mandiri mengelola sebuah pemerintahan lokal.

Padahal untuk membentuk sebuah pemerintahan yang mandiri dan madani perlu pendewasaan dalam segala hal, pertama yang paling esensial dalam pengelolaan pemerintahan yaitu pembagian tugas pokok dan fungsi (kaya fungsi, miskin struktural tapi ini sebaliknya..!) kesiapan aparatur (SDM yang berkualitas) kesiapan anggaran (dareah harus menyiapkan belanja anggaran rutin dan pembangunan sektoralnya dan non sektoralnya).

Dilihat dari sisi penyiapan anggaran saja pemerintah pusat harus menyiapkan anggaran perimbangan untuk pusat dan daerah, dan sudah pasti ini akan menyedot anggaran pembangunan dan belanja negara (APBN) dan ini pemborosan namanya…

Sedangkan dari sisi sumber daya yang tersedia ini akan menjadi beban negara terutama untuk daerah-dareah yang miskin sumber daya, pemerintah lokal harus berjuang dengan segala upaya untuk meningkatkan PAD, sedangkan sumber daya terbatas, bahkan tidak sedikit kemungkinan akan terjadi tarik ulur terhadap sumber-sumber kekayaan PAD. Banyak sekali contoh-contoh konkrit dimana antara dua daerah berebut dan klaim atas kepemilikan sumber daya lokal termasuk juga kadang-kadang ada klaim pemerintahan pusat. ini merupakan suatu kemunduran didalam berpemerintahan dan contoh buruk buat rakyat…!

Kalau sudah seperti ini sudah sangat multi dimensi: pertama mengikutsertakan rakyat yang tidak tahu menahu dalam persoalan politik karena segelintir elit politik, dan membenturkan antara rakyat dengan pemerintah bahkan terjadi perpecahan antara rakyat dan rakyat yang berujung kepada perang antara masyarakat lokal.

Sedangkan kemajuan yang patut kita hargai dan diacungi jempol adalah desentralisasi terhadap pemilihan pimpinan daerah (Pilkada) karena dari kandidat, Balon terdapat perwakilan yang tidak mencerminkan partai-partai yang ada alias calon independent. Ini merupakan langkah maju didalam berdemokrasi.

Jadi bagiamana menyikapi terhadap daerah yang memekarkan diri?.. ini merupakan tanggungjawab kita bersama. Hal-hal yang perlu direnungkan adalah, sudah sejauh mana pemerintahan yang telah dijalani telah mencapai tujuan-tujuan umum penyelenggaraan negara? indikatornya yaitu, kesejahteraan rakyat secara umum, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. kedua, kayakan fungsi, minimalkan jabatan struktural.
Agar tujuan pembangunan daerah lokal mencapai batas-batas maksimal program, ukurannya..? banyak sekali… pertama dari sisi pemerintahan, sudah solidkah aparatur birokrat, bagaimana mengefesienkan kinerjanya, solidkan kinerja dan kerjasama lintas sektoral, efesienkan anggaran daerah,....

Kamis, 03 Januari 2008

Banjir seharusnya tidak datang









Foto satelit yang menunjukkan kawasan tangkapan air untuk sungai-sungai di wilayah Jabodetabek, meliputi lereng utara Gunung Salak, Gede dan Pangrango, serta wilayah Cisarua dan Puncak, Kabupaten Bogor (sumber:www.Maplandia.com)

Banjir sekarang bukan lagi setiap lima tahun sekali tetapi sudah setiap tahun. Jakarta atau batavia sejak jaman belanda konon sering dibanjir oleh sungai ciliwung ini sehingga pemerintah belanda pada waktu itu merencanakan membangun banjir kanal barat dan banjir kanal timur, hanya banjir kanal barat yang rampung sedangka banjir kanal timur belum selesai dibangun. Jakarta dilalui dan menjadi tempat bermuaranya 13 sungai yang berhulu di Kabupaten Bogor yang berada di sebelah selatan. Ketiga belas sungai itu yaitu Ciliwung, Pesanggrahan, Sunter, Krukut, Jati Kramat, Cipinang, Grogol, Angke, Buaran, Kali Baru, Kali Baru Timur dan Cakung. Sungai yang terbesar adalah Ciliwung yang berhulu di lereng Gunung Pangrango (3019 m) dan Talaga (1725 m) di sekitar wilayah Kecamatan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Di daerah hulu yang menjadi wilayah utama tangkapan air bagi Ciliwung relatif sempit, jika dibandingkan dengan wilayah tangkapan air Sungai Cisadane misalnya, yaitu hanya sekitar 100 km persegi (10.000 ha). Atau kurang lebih setara dengan luas Kota Bogor. Wilayah tangkapan air di Cisarua dan Megamendung ini sekarang sudah beralih fungsi dari hutan dan atau perkebunan bertanaman menahun menjadi wilayah pemukiman, fasilitas pariwisata dan komersial, serta untuk lahan pertanian bertanaman semusim.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kawasan puncak seperti megamendung, cisarua, ciawi dan sekitarnya telah berubah warnanya menjadi kecoklatan, ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan fungsi lahan menjadi sektor perumahan, niaga dan perkantoran serta pariwisata. Daerah tangkapan air Kali Ciliwung yang sempit di lereng Gunung Pangrango dan Talaga, yang seharusnya dijaga kelestariannya telah porak poranda menjadi lahan non-kehutanan dan non-perkebunan. Kawasan Cisarua sudah tidak seindah dulu lagi. Sejauh mata memandang kawasan itu dihiasi pemukiman, villa-villa, lahan pertanian sayuran di lahan berkontur miring berpadu dengan lahan tidur yang terlantar. sedangkan pada bagian tengah aliran sungai Ciliwung pun sudah sarat oleh pemukiman penduduk dan kawasan industri, mulai dari Kota Bogor, Cibinong dan Kota Depok. Daerah resapan air sudah semakin sempit. Apalagi memasuki wilayah DKI Jakarta, daerah aliran sungai Ciliwung sudah penuh sesak, padat oleh pemukiman penduduk, industri, fasilitas komersial dan berbagai peruntukan lain, yang tak menyisakan lahan sedikit pun sebagai tempat peresapan air. Belum lagi sampah dan pendangkalan sungai yang semakin menurunkan kemampuan fungsi seperti layaknya sebuah sungai.

Fenomena ini juga terjadi pada sungai-sungai lain yang mengalir di kawasan Jabodetabek. Jika ingin Jakarta tidak banjir, segera batasi dengan ketat kawasan yang diperuntukkan bagi fungsi selain untuk kehutanan dan perkebunan menahun. Kembalikan lahan pada fungsi semula, walaupun di atasnya telah dibangun bangunan yang tidak sesuai ketentuan. Hijaukan lahan kritis dan lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya yang biasanya spekulan tanah dan properti yang menunggu “harga bagus”, bahkan bila perlu diambil alih pemerintah jika dalam jangka waktu tertentu tidak digunakan sesuai peruntukkannya.

Atur yang ketat mengenai penataan ruang tanpa pandang bulu, terutama daerah terbuka hijau, Segera atur drainase, reboisasi sempadan sungai, reboisasi lahan tidur, kritis, dan lain sebagainya... dan yang terpenting harus ada waskat terhadap aparatur daerah, dan aparatur kota-kota disekitar jakarta dalam hal izin pembangunan...!

Pada skala mikro, buat sumur-sumur peresapan sebanyak mungkin. Dapat dengan ketentuan, misalnya setiap 25 meter persegi lahan harus dibuat satu sumur peresapan, baik di pemukiman, fasilitas umum, komersial, industri dan fasilitas lainnya. Hindari bahkan larang plesterisasi untuk perkerasan tanah, untuk memberi kesempatan air meresap secara alami seluas mungkin. Sebagai jalan tengah, perkerasan dapat dilakukan dengan grassblock, atau plesterisasi manual pra-cetak in-situ (plesterisasi yang dapat dibuat sendiri dengan mencetak blok-blok kecil, misalnya berukuran 20x20 cm dari pasir, kerikil dan semen) yang dibentuk dengan tetap memberi celah – celah bagi tanah. Kemudian tidak menggunakan lapisan aspal pada jalan-jalan intern di pemukiman, perkantoran, dan industri. Pada kawasan ini dapat dibuat dengan lapisan pasir dan conblock dan grassblock.